By: Nandang Burhanudin
****
Alkisah, pada era tahun 90-an, ramai pelajar-mahasiswa Indonesia yang
menimba ilmu di negeri 1000 menara, negeri Al-Azhar, negeri yang Alllah
firmankan sebagai negeri aman kendati dipimpin oleh Fir'aun. Saya
sendiri menikmati suasana itu di tahun 1996, sebelum tragedi krismon
yang melanda Indonesia.
Saat krismon itulah dan sebelumnya, saya sering menemukan pemandangan yang fenomenal dari perilaku dan gerak-gerik para agent of change di Mesir. Karena ternyata, sangat banyak ragam mahasiswa ada sesuai dengan latarbelakang dan niat awal belajar ke Mesir.
Singkat cerita, dari sekian ribu pelajar-mahasiswa di Mesir, ada
pemandangan yang jamak terjadi; yaitu terekrutnya pelajar-mahasiswa baru
ke dalam kafilah dakwah tarbawiyah. Kelak di kemudian hari, tunas-tunas
inilah yang menjadi penopang gerakan tarbiyah hingga saat ini.
Pemandangan pertama: Beberapa mahasiswa tinggal dalam satu flat. Mereka berangkat dengan modal tiket dan bekal pas-pasan.
Jaman dahulu, tak mudah transfer uang dari Indonesia ke Mesir. Dan
memang, rata-rata yang belajar ke Mesir didominasi orang-orang
sederhana, juga tak sedikit dari kaum papa yang mengandalkan idealisme
memperdalam agama.
Pelajar-mahasiswa tipe ini, biasanya kental dengan suara persaudaraan.
Senasib sepenanggungan lumrah adanya. Satu rumah diisi 8 orang
mahasiswa/pelajar. Dari jumlah ini, biasanya ada 1-2 orang yang memang
biaya hidup (sewa flat-makan-transportasi) ditanggung oleh yang 6 orang
yang kebetulan memiliki bekal cukup atau dipandang mampu. Istilahnya, 6
orang mengkafalahi 2 kawan yang kebetulan kurang beruntung.
Perlu keikhlasan tingkat tinggi. Sungguh tak mudah. Tapi saya merasakan
betapa tarbiyah memformat ulang hati-hati setiap insan, untuk memiliki
jiwa-jiwa itsar dan spirit takaful bersama. Malah biasanya ketua grup
(lurah), sangat giat menjalin silaturrahmi ke sana-kemari untuk mencari
solusi atas permasalah pelajar-mahasiswa yang kurang beruntung.
Sikap istsar itu tidak hanya mengkafalahi yang 2 orang tadi. Flat kita
pun harus terbuka untuk disinggahi kawan-kawan lain, baik
pagi-siang-atau malam hari. Saat itu, flat kita yang mungkin selalu
"hangat" dan "bau" masakan, diajarkan untuk menjadi keluarga yang lapang
dada mempersilahkan tetamu menikmati hidangan yang sebenarnya terbatas
dan belum tentu mengenyangkan. Namun sekali lagi, inilah intisari dari
dakwah tarbawiyah.
Pemandangan kedua; tak sedikit pelajar/mahasiswa yang datang dengan
beasiswa negara. Biasanya yang mengikuti program postgraduate.
Saya beberapa kali menemukan, tak sedikit dari mereka yang tidak membuka
diri kepada pelajar dan mahasiswa yang lain. Kami memaklumi, mungkin
sibuk dan lagi studyhard menyelesaikan thesis atau desertasinya.
Biasanya jika ia telah bergabung dengan gerakan tarbiyah, ia hanya
simpatik dari segi fikroh tidak pergerakan. Kemampuan ilmiahnya sangat
mumpuni. Namun tidak dengan sikap sosialnya yang cenderung ekslusif dan
memposisikan bak "mercusuar".
Dua pemandangan ini, kini saya lihat kiprahnya di Indonesia. Tipe
pertama: tetap setia menjadi batu-bata dakwah, dalam kondisi senang atau
susah, dalam keadaan aman atau fitnah. Mereka berperan seperti akar.
Tidak nampak, namun aliran enerjinya mengalir ke semua penjuru, menyerap
saripati potensi, mengokohkan pohon, dan menjadi saringan bagi pohon
dakwah.
Sedangkan tipe kedua: Ia menjadi mercusuar dakwah. Ilmunya yang luas,
kajiannya yang mendalam, tsaqofahnya yang mendunia, dan gelar
pendidikannya yang aduhai, ia mampu menghipnotis tunas-tunas dakwah. Ia
telah menjadi figur sentral. Perannya tak ubahnya seperti daun yang
membuat indah pohon dakwah, menerima sorotan matahari, hingga hingar
bingar situasi dan kondisi.
Namun di saat badai menerjang, hujan beserta petir menghantam. Kita bisa
tahu, ternyata pohon dakwah itu tak terusik karena kekokohan
kader-kader yang tak terlihat dan kokoh menghujam ke bawah. Sementara
kader-kader yang menjadi dedaunan, tak sedikit yang rontok dan
berhamburan. Seakan tak siap menghadapi hiruk pikuk konspirasi dan
tragedi.
Kini saya merekonstruksi ulang. Oh ternyata, kawan-kawan yang hingga
kini tak terkenal dan tidak menjadi figur sentral dalam dakwah, mereka
yang dahulu kuliahnya tak semulus jalan tol. Mereka yang dahulu makan
bersama dalam satu nampan. Tak peduli dengan mulut kami yang masih bau,
mata kami yang belum dibersihkan, keringat kami yang tak hiegienis, atau
cara masak kami yang jauh dari kata profesional.
Sedangkan kawan-kawan yang sekarang berguguran, adalah mereka yang
dahulu hidup lebih dari cukup, bisa jajan di resto, ekslusif, mampu
menyewa satu kamar seorang diri, tak pernah lutut kami beradu atau bau
badan kami bercampur. Kini tipe-tipe ini justru yang telah pergi
meninggalkan kami, di saat keguncangan itu terjadi.
Saya hanya berdoa, semoga ALlah persatukan kami kembali. Jalan dakwah
ini mengajarkan, saripati dakwah itu tidak hanya didapat dari
teori-teori yang ada di buku-buku. Tapi saripati dakwah kita dapatkan,
karena turun ke gelanggang walau seorang.
Bandung, 6: 24; 26/6/13
Facebook : ROHIS SMA NEGERI 1 PURWODADI
No comments:
Post a Comment