“Alif, laam,
raa. Ini adalah ayat-ayat Kitab (Al Quran) yang nyata (dari Allah).
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar
kamu memahaminya. Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan
mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami
mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui. (Ingatlah),
ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi
melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.”
Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada
saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” Dan demikianlah Tuhanmu,
memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari
ta’bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada
keluarga Ya’qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua
orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanmu Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Yusuf; 1-6)
Kisah Nabi Yusuf AS diabadikan Allah dalam satu surat khusus dalam Al-Qur’an
yang juga bernama Surat Yusuf. Kisah ini merupakan kisah terbaik dalam
Al-Qur’an. Kisah Nabi Yusuf merupakan kisah terpanjang di Qur’an yang
diceritakan secara berurutan dan dalam satu surat penuh. Ceritanya sangat
manusiawi, artinya sangat mungkin terjadi di kehidupan saat ini dan bisa
menjadi teladan bagi kita yang hidup di zaman sekarang. Kisah ini berujung pada
akhir yang bahagia dan dari sana kita dapat mengambil nilai penting yaitu bahwa
setiap perubahan tidak selalu harus melalui cara peperangan. Perubahan bisa
dilakukan dengan mengubah suatu sistem dari dalam. Itulah alasan-alasan mengapa
kisah ini menjadi kisah terbaik.
Sebuah kisah yang memberikan banyak nilai bagi kita terutama untuk menjadi
pedoman dalam melakukan perubahan. Kita bisa mengambil kata kunci dari kisah
ini bahwa ketika kita hendak mengubah suatu sistem dari dalam maka kita harus
memiliki kredibilitas kepada penguasa saat itu dengan cara meningkatkan
kapabilitas dan kapasitas intelektual dan moral. Mudahnya, kita harus menjadi tangan
kanan penguasa. Bukan tunduk kepadanya tetapi kita tunjukkan bahwa diri kita
pantas untuk menjadi seorang pemimpin yang adil.
Prinsip dalam mengubah sistem dari dalam ialah kita harus memiliki
perencanaan jangka panjang yang jelas. Pada dasarnya reformasi dilakukan tidak
serta merta seperti revolusi. Ia membutuhkan periode waktu yang bisa jadi
melibatkan banyak generasi. Oleh karena itu diperlukan adanya mentor agar
proses pewarisan antar generasi berjalan dengan baik. Rencana jangka panjang
itu hendaknya disusun secara detail sesuai timeline. Rencana
tersebutlah yang menjadi bingkai kita dalam menjalani proses reformasi.
Ketika kita hendak melakukan perubahan dari dalam maka kita harus
mempersiapkan pula orang-orang yang terbaik. Bukan hanya terbaik, tapi terbaik
dari yang terbaik. Hal ini penting mengingat perubahan ini dilakukan dalam
jangka panjang dan melibatkan banyak orang sehingga dalam proses pewarisannya
harus benar-benar murni secara prinsip dan pemahaman agar antar generasi tidak
saling miss dan alur perubahan itu tetap terjaga.
Sosok yang dibentuk ini juga memiliki jiwa petarung yang handal. Ia harus
mampu menangkal segala perlawanan dari pihak-pihak yang memusuhinya. Wajar
saja, karena setiap orang yang hendak membawa perubahan dalam suatu sistem pada
awalnya pasti akan mendapat perlawanan dari pihak oposisi. Seperti pada kisah
Yusuf AS beliau adalah seorang keturunan Nabi. Ayahnya, kakeknya, buyutnya pun
seorang Nabi. Ia oleh Allah telah dirancang untuk membawa perubahan bagi Bani
Israil. Namun, bagi ke sebelas saudaranya Yusuf dianggap mengancam eksistensi
mereka di hadapan ayahnya. Oleh karenanya mereka hendak menyingkirkan Yusuf
dari dunia persilatan. Yusuf pun dibuang ke dasar sumur dan ia ditemukan oleh
pedagang yang melewati sumur itu. Di sini Yusuf mengalami sebuah tantangan
besar. Ia dimusuhi oleh saudara-saudaranya sendiri. Bahkan ketika itu ia masih
kecil, masih belum paham apa-apa.
Kemudian Yusuf menjadi barang dagangan yang ujungnya, ia dibeli oleh
seorang raja. Yusuf pun tumbuh dewasa, ia menjadi pemuda yang sangat tampan.
Sampai suatu ketika ia difitnah oleh istri raja dan dijebloskan ke penjara.
Inilah bentuk penempaan baru bagi seorang agent of change.Ia
akan mengalami pergulatan dengan berbagai kenyataan sosial dan politik yang berat,
kompleks, kompetitif, dan penuh konflik. Yusuf difitnah, padahal istri rajalah
yang menggodanya. Ia masuk penjara yang kemudian di sanalah justru titik
kebangkitan itu muncul. Ia bertemu dua orang yang bermimpi aneh. Kemudian Yusuf
menerangkan kepada mereka arti mimpi itu dengan mengambil janji bahwa ketika
mereka telah keluar nanti mereka akan memberitahu raja bahwa dirinya tidak
bersalah. Setelah sekian lama Yusuf menunggu akhirnya ia dibebaskan karena
informasi dari salah satu orang tadi yang memberitahu raja bahwa Yusuf mampu
menakwilkan mimpi sang raja. Dan inilah sikap Yusuf. Ia tidak serta merta
menerima putusan raja. Ia ingin memastikan bahwa dirinya tidak bersalah dengan
meminta pada raja untuk mengumumkan kebenaran tentang fitnah yang menimpanya.
Ia ingin kebenaran itu terungkap sejelas-jelasnya. Maka raja pun melakukannya.
Nah, inilah semestinya sikap dari seorang pembawa perubahan. Ketika ia
dijatuhkan, ia tidak menyerah. Ia tidak menerima begitu saja keputusan dari
penguasa, tetapi ia harus mengklarifikasi dahulu tentang masalahnya. Ia
memastikan dahulu bahwa namanya telah bersih dari tuduhan-tuduhan dan fitnah.
Sebagai seorang pemuda, hendaknya kita tetap menjadi kaum yang idealis, di
manapun. Ketika kita berinteraksi dengan birokrasi maka semestinya memiliki
mental untuk mengubah kondisi di dalamnya. Maka ujian terbesar kaum reformis
adalah harta, tahta, wanita. Kalau saja Yusuf tergoda dengan istri raja, maka
berakhirlah kisah indah itu. Jika Yusuf begitu saja menerima pembebasan dan permintaan
Raja untuk menakwilkan mimpi, maka selesailah tugas mulianya. Kita harus
meneladani sikap-sikap tersebut. Dalam mengatasi ujian-ujian itu hendaknya kita
memperkuat rasa takut kita pada Allah, meningkatkan sikap amanah dan
tanggungjawab terhadap segala aktivitas kita, dan sadar akan resiko dari setiap
keputusan kita. Selain itu, kita harus memelihara konsistensi sikap dan misi
perjuangan ini dalam kondisi apapun.
Jangan takut untuk mempertahankan objektivitas dan kebenaran. Kebenaran
menjadi satu-satunya posisi tawar kita dengan kekuasaan. Tujuan masuknya kita
ke sistem bukan untuk ‘menjual’ kebenaran kepada penguasa, tapi untuk
mengungkapkan kebenaran dengan sebenar-benarnya…
“Berani karena benar, takut karena salah…”
No comments:
Post a Comment